Siklus Hidup, Penularan, Gejala terinfeksi, Pengobatan, dan Pencegahan Strongyloides stercoralis

Morfologi Strongyloides stercoralis

Strongyloides stercoralis merupakan nematoda dari kelas Secernentea. Strongyloides stercoralis  mempunyai tiga macam siklus hidup yaitu hidup bebas (Free-living Phase), sebagai parasit (Parasitic Phase) dan autoinfeksi (autoinfectious). Pada Strongyloides stercoralis yang hidup bebas (Free-living Phase) terdapat individu jantan dan betina. Sedangkan pada Strongyloides stercoralis yang parasit (Parasitic Phase) hanya terdapat betina protandrogonous. Di awal pertumbuhanya, betina protandrogonous sebenarnya mempunyai sistem reproduksi jantan, namun akan berlahan-lahan hilang dan  organ reproduksi betina terus berkembang sehingga memberikan kesan bahwa cacing Strongyloides stercoralis bereproduksi secara partenogenesis.

Betina protandrogonous memiliki panjang sekitar 2,0 mm dan lebar 0,04 mm. Strongyloides stercoralis jantan yang hidup bebas mempunyai panjangnya sekitar 1,0 mm sedangkan betina yang hidup bebas panjangnya sekitar 2,0 hingga 2,5 mm. Uterus Strongyloides stercoralis yang hidup bebas mengandung lebih banyak telur daripada betina protandrogonous.

a) Strongyloides stercoralis Betina protandrogonous, b). Strongyloides stercoralis jantan (Free-living Phase), c). Strongyloides stercoralis betina (Free-living Phase)
a) Strongyloides stercoralis Betina protandrogonous, b). Strongyloides stercoralis jantan (Free-living Phase), c). Strongyloides stercoralis betina (Free-living Phase)

Siklus Hidup cacing Strongyloides stercoralis

1. Fase hidup bebas (Free-living Phase)

Strongyloides stercoralis dapat hidup bebas di tanah lembab dan iklim hangat. Kopulasi antara cacing jantan dan cacing betina terjadi di dalam tanah. Ketika sperma telah menembus oosit, inti sperma akan hancur. Penetrasi sperma hanya mengaktifkan oosit untuk berkembang secara partenogenetik tanpa memberi kontribusi pada materi genetik embrio yang sedang berkembang. Telur akan menetas di tanah. Larva rhabditiform akan memakan sisa-sisa bahan organik. Setelah melewati 4 kali molting, larva akan menjadi dewasa secara seksual kemudia siklus akan berulang.

Namun, jika lingkungan menjadi tidak ramah, larva rhabditiform berganti kulit dua kali kemudian  menjadi larva filariform. Larva tersebut tidak makan dan merupakan bentuk infektif bagi manusia.

2. Fase sebagai parasit (Parasitic Phase)

Ketika manusia bersentuhan dengan larva filariform. Larva kemudian dengan mudah menembus kulit kemudian masuk ke pembuluh darah atau pemluluh limfa. Larva filariform lalu masuk ke jantung dan bersama darah masuk ke paru-paru. Di dalam paru-paru terjadi molting yang ketiga, larva pecah dari kapiler paru dan masuk ke alveoli. 

Ada beberapa bukti laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan bahwa tidak semua larva masuk paru-paru. Namun gejala pada sebagian besar pasien yang terinfeksi mengeluhkan gejala pada paru-paru, sehingga disimpulkan bahwa kasus infeksi pada manusia hampir semuanya masuk ke dalam paru-paru.

Dari alveolus, larva bergerak ke ke epiglotis kemudian menuju kerongkongan dan turun ke usus. Di dalam usus cacing melakukan ganti kulit terakhir dan menjadi cacing protandrogonous. . Cacing menggali ke dalam mukosa kecil dan menghasilkan telur berembrio dalam waktu 25 sampai 30 hari setelah infeksi. 

Beberapa peneliti melaporkan bahwa embrio diproduksi secara partenogenetik, namun ada juga yang melaporkan bahwa telur merupakan hasil pembuahan.

Telur, rata-rata berukuran 54 x 32 mm dan ditutupi oleh cangkang tipis transparan. Telur menetas di mukosa kemudian menjadi larva rhabditiform. Larva rhabditiform dalam lumen usus keluar dari tubuh inang bersama tinja. Telur jarang ditemukan dalam tinja.

 Dalam kondisi yang menguntungkan, larva tetap di dalam tanah serta mengalami empat kali ganti kulit hingga menjadi dewasa (hidup bebas). Namun, dalam kondisi yang merugikan, larva rhabditiform bermetamorfosis menjadi larva filariform yang infektif ada manusia.

Siklus Hidup, Penularan, Gejala terinfeksi, Pengobatan, dan Pencegahan Strongyloides stercoralis
Siklus Hidup Strongyloides stercoralis

3. Fase Autoinfeksi

Selama perjalanan melalui saluran pencernaan larva rhabditiform dapat dengan cepat mengalami dua kali pergantian kulit menjadi larva filariform kemudian menembus mukosa usus atau kulit perianal lalu memasuki sistem peredaran darah. Cacing melanjutkan hidup parasit mereka tanpa pernah meninggalkan inangnya. Siklus seperti itu sering terjadi dan menyebabkan beberapa orang telah menyimpan infeksi selama lebih dari 50 tahun, serta mengakibatkan infeksi yang semakin berat, bahkan mematikan.

Penularan Strongyloides stercoralis

Manusia biasanya tertular infeksi melalui kontak dengan larva infektif di dalam tanah dan lebih jarang dari larva mengkontaminasi air.

Gejala terinfeksi Strongyloides stercoralis

Ada tiga gejala ketika manusia terinfeksi Strongyloides stercoralis yaitu gejala yang muncul pada kulit, paru, dan usus. Gejala pada kulit ditandai dengan sedikit pendarahan, pembengkakan, dan rasa gatal yang hebat pada tempat masuknya larva filariform. Migrasi larva melalui paru-paru menyebabkan gejala pada paru-paru. Kerusakan paru-paru karena migrasi larva tersebut menyebabkan reaksi seluler terjadi sehingga menunda atau mencegah migrasi ke tempat lain. Ketika hal tersebut terjadi, larva dapat berkembang di paru-paru dan mulai bereproduksi seperti di usus sehingga penderita mengalami sensasi terbakar di dada, batuk, dan gejala pneumonia bronkial lainnya.

Gejala pada usus muncul ketika cacing betina tertanam di mukosa. Infeksi sedang sampai berat menghasilkan rasa sakit dan rasa terbakar yang hebat di daerah perut, disertai dengan mual, muntah, dan diare intermiten. Infeksi yang berlangsung lama menyebabkan disentri kronis dan penurunan berat badan. Infeksi yang sangat berat dapat berakibat fatal. 

Cara diagnosis yang paling mudah dan akurat adalah identifikasi mikroskopis larva rhabditiform atau filariform dalam tinja.

Pengobatan Infeksi Strongyloides stercoralis

Pengobatan dilakukan dengan pemberian 400 mg albendazole setiap hari selama 3 hari berturut-turut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ivermectin (200 mg/kg) satu kali dosis berhasil mengobati infeksi Strongyloides stercoralis dengan tingkat kesembuhan sebesar 90%.

Pencegahan Infeksi Strongyloides stercoralis

Pencegahan infeksi Strongyloides stercoralis adalah dengan menjaga sanitasi lingkungan. Tidak membuang kotoran manusia sembarangan serta mengobati orang yang telah terinfeksi agar tidak menyebarkan cacing ke orang lain di sekitarnya.

Demikian postingan tentang Siklus Hidup, Penularan, Gejala terinfeksi, Pengobatan, dan Pencegahan Strongyloides stercoralis. Semoga bermanfaat

Load disqus comments

0 komentar